Cerita seks ini berawal dari sebuah kisah romantisku dan kenangan bersama cinta pertamaku. Seperti apa kata pepatah bahwa cinta pertama tak pernah mati, apalagi cinta tersebut tumbuh disaat usia remaja. Kesederhanaan serta keluguan akan berbagai hal dikala itu justru menjadikan sebuah pengalaman masa lalu yang indah dan akan terkenang di dalam lubuk sanubari hati yang indah dan tak terlupakan. Kisah nyata cerita seks ini kualami dengan seorang gadis yang kukenal dan teman bermain sejak kecil, iya tak terlalu cantik tapi entah kenapa senyum manisnya sampe saat inipun aku menulis sebuah goresan cerita ini, aku tak bisa melupakannya sedikitpun.
Kisah ini terjadi di awal tahun 2000.
Saat masih kanak-kanak, kami bermain seperti halnya anak-anak
pada umumnya.
“Hoom-pim-pah ..”
“Agus jaga..”. Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami,
anak-anak yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke
warung Ma’ Ati yang sudah tutup. Ayu lari mengikutiku. .Aku
merangkak masuk di bawah meja warung itu, Ayu mengikutiku dari
belakang dan jongkok di sebelahku. Ayu dan aku mengintip lewat
celah kecil di gedek di bawah meja yang sempit itu mencari
kesempatan untuk lari keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa
senang kalau berada dekatnya. Waktu itu rasanya tidak ingin aku
keluar dari tempat persembunyianku. Apakah ini yang namanya “cinta
anak-anak”? Aku tak tahu. Yang aku tahu Ayu memang cantik. Aku
juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku bilang begitu).
Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya cocok kalau
aku jadi pangeran, Ayu jadi puteri. Juga dalam permainan lain Ayu
cuma mau ikut dalam kelompokku. Teman-temanku sering
memasang-masangkan aku dengan dia.
Masa kecil kami memang menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku
harus berpisah dengan teman-temanku karena harus mengikuti ayahku
yang ditugaskan di kota lain. Waktu itu aku masih duduk di kelas
empat SD. Sejak itu aku tak pernah dengar kabar apa-apa dari
teman-temanku itu, termasuk Ayu.
Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding
mengalun mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan
prasmanan. Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun
pesta mereka. Sampai Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk
pundakku.
“Eh Rik, apa kabar?”
“Oh, baik saja oom.”
“Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku.”
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang
asyik menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta
berwarna kuning dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku
melihat dia, aku segera teringat pada seseorang.
“Apakah, apakah dia ..?”
“Benar Rik, dia Ayu.”
“Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu.”
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu,
tampaknya ia pun mengenaliku.
“Ini Riki, tentu kamu kenal dia,” kata oomku.
Kami bersalaman.
“Wah, sudah gede sekali kamu Ayu.”
“Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri
bagaimana?” katanya sambil tertawa.
Tertawanya dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada
tertawanya ketika ia kecil. Aku benar-benar terpesona melihat Ayu,
aku ingat Ayu kecil memang cantik, tetapi yang ini memang luar biasa.
Apakah karena dandanannya? Ah, tidak, sekalipun tidak berdandan
aku pasti juga terpesona. Gaun pestanya yang kuning itu memang
tidak mewah, tetapi serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai.
Bahunya terbuka, buah dadanya yang putih menyembul sedikit di atas
gaunnya itu membedakannya dengan Ayu kecil yang pernah
kukenal.
“Sudah sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain,” kata
oomku seraya meninggalkan kami.
“Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ,” kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
“Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?”
“Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?”
“Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?”
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya,
perlahan ia berkata, “Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah
bekerja. Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang
mengharuskan aku begitu.”
“Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri-
sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa.”
Kira-kira satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu
itu umurku 22, dia juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama
dengan umurku). Perasaan yang pernah tumbuh di sanubariku semasa
kecil tampaknya mulai bersemi kembali. Rasanya tak bosan-bosan
aku memandang wajahnya yang ayu itu. Apakah cinta anak-anak itu
mulai digantikan dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga tidak
tahu apakah ia merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa
simpati padanya. Malam itu sebelum berpisah aku minta alamatnya
dan kuberikan alamatku.
Sekembali ke Bandung kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak
pernah terlambat dia membalas suratku. Hubungan kami makin akrab.
Suatu ketika ia menyuratiku akan berkunjung ke Bandung mengantar
ibunya untuk suatu urusan dagang. Memang setelah ayahnya pensiun,
ibunya melakukan dagang kecil-kecilan. Aku senang sekali atas
kedatangan mereka. Kucarikan sebuah hotel yang tak jauh dari rumah
indekosku. Hotel itu sederhana tetapi cukup bersih.
Pagi hari aku menjemput mereka di stasiun kereta api dan
mengantarnya ke hotel mereka. Sore hari, selesai kuliah, aku ke
hotelnya. Kami makan malam menikmati sate yang dijual di
pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Ayu berjalan-jalan
menikmati udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu
kami mulai bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang
kulingkarkan tanganku di bahunya yang tertutup oleh jaket. Kami
berjalan menempuh jarak beberapa kilometer, jarak yang dengan
Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi anehnya kami merasakan
jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami masih melanjutkan
pecakapan di serambi hotel sampai lewat tengah malam, sementara
ibu Ayu sudah mengarungi alam mimpi. Besok sorenya aku ke hotel
untuk mengantarkan mereka ke stasiun untuk kembali ke kota
mereka. Ketika aku tiba di hotel, ibu Ayu sedang mandi, Ayu sedang
mengemasi barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar
itu. Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan
yang sangat pribadi bagi dia. Dengan berdebar aku bangkit dari
tempat dudukku berjalan dan berdiri di belakangnya, perlahan
kupegang kedua bahunya dari belakang, kubalikkan tubuhnya hingga
menghadapku.
“Ayu, bolehkah ..?”
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya.
Ia kembali membelakangiku.
“Sorry Ayu, bukan maksudku ..”
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi
barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu
Ayu keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku
menyalami Ayu aku berbisik, “Ayu, sorry ya dengan yang tadi.”
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
“Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami.”
Hubungan surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga
mencapai tahap serius. Aku sering membuka suratku dengan “Ayuku
tersayang”. Kadang-kadang kukirimi dia humor atau kata-kata yang
nakal. Dia juga berani membalasnya dengan nakal. Pernah dia menulis
begini, “Sekarang di sini udaranya sangat panas Rik, sampai kalau
tidur aku cuma pakai celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami
(aku juga).”
Membaca surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan
seperti yang diceritakannya itu. Kukhayalkan aku berada di dekatnya
dan melakukan adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan
ada tetesan keluar dari diriku akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan
itu di kertas surat yang kugunakan untuk membalas suratnya.
(Barangkali ada aroma, atau entah apa saja, yang membuat ia
merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi aku tak pernah
cerita pada dia tentang ini.)
Sampai tiba liburan semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di
rumahnya selama empat malam. Inilah pengalamanku selama empat
malam itu.
Aku tiba pagi hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di
kamar makan. Aku melihat Ayu mengenakan cincin imitasi dengan
batu berwarna merah muda di jari manisnya.
“Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?”
Kutarik tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu.
Ketika lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari
tangannya ke tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas
genggamanku, kubawa telapak tanganku ke telapak tangannya.
Kumasukkan jari-jariku di sela jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus,
putih dan lentik berada di antara jari-jariku yang lebih besar dan
gelap. Kugenggam dia, dia juga menggenggam. Kuremas-remas jari-
jari itu. Dia membiarkannya. Kami berpandangan dengan penuh arti
sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
“Aku bereskan meja dulu.”
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia
berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana-
nama, aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang
kubawa.
Sore harinya aku, Ayu dan adiknya menonton film di bioskop. Aku
ingat ketika nonton itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia.
Setelah pulang nonton kami duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu
sekitar pukul sembilan. Kami hanya ngobrol-ngobrol biasa karena
orang-orang di rumah itu masih belum tidur. Ayu membuat secangkir
kopi untukku. Sekitar pukul sepuluh rumah mulai sepi, orang tua dan
adik Ayu sudah masuk ke kamar tidur masing-masing. Hanya tinggal
aku dan Ayu di ruang tamu. Ia duduk di sofa di sebelah kananku.
Dari obrolan biasa aku mulai berani. Kulingkarkan tanganku
dibahunya. Ayu diam saja dan menunduk. Dengan tangan kiriku
kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku ke wajahnya, kutarik
dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan matanya
membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma
sebentar. Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku
(kukira juga di kepalanya). Aku merasa jantungku berdegup.
Pelan-pelan tangan kananku kulepas dari bahunya, menyusup di
antara lengan dan tubuhnya, dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia
membiarkan dadanya kusentuh. Aku melangkah lagi, jari-jariku
kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan bahkan menyandarkan
badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau rambutnya. Aku
pun tidak ragu lagi, kuremas-remas payudaranya. Ia tetap diam dan
tampaknya ia menikmatinya.
Setelah beberapa saat ia menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak
sengaja, ia menaruh tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing
celanaku. Aku tanggap isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku,
kutarik tangannya masuk ke sela yang sudah terbuka itu. Ia menurut
dan ia menyentuh penisku, jari-jarinya yang tadi pasif sekarang mulai
aktif. Walaupun masih terhalang oleh celana dalam, ia mengusap-usap
di situ. Aku melangkah lebih jauh lagi, tanganku yang berada di
dadanya sekarang memasuki dasternya, menyusup di sela-sela BH-
nya dan kuremas-remas payudaranya langsung. Payudaranya memang
tidak terlalu besar tetapi cukup kenyal dalam remasanku. Dia tak mau
kalah, tangannya menyusup masuk ke celana dalamku dan langsung
menyentuh penisku lalu mengenggamnya. Bergetar hatiku, baru kali itu
penisku disentuh seorang gadis, gairahku melonjak. Dua kali ia
menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak tahan ..
menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana dalamku.
Aku mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan
tangannya dari celanaku dan melihat tangannya yang basah.
“Kental ya Rik,” bisiknya.
“Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama,” kataku
kecewa.
“Aku tahu Rik,” ia memahami.
“Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu,” lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke
kamar mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada
kembali di situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur.
Aku masuk ke kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.
Malam kedua. Seperti halnya malam pertama, setelah suasana sepi
kami memulai dengan berciuman. Kalau kemarin hanya kecup bibir
sebentar, kali ini aku mencoba lebih. Mula-mula kukecup bibir
bawahnya, lalu bibir atasnya, lalu lidahku masuk. Lidahku dan
lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa manis dan segar di mulutnya,
kurasa ia makan pastiles atau permen pedas sebelumnya. Lalu kami
main remas-remasan lagi. Kali itu dia tidak memakai BH hingga lebih
mudah bagiku meremas-remas payudaranya. Seperti kemarin
tangannya pun meraba-raba penisku. Aku sudah khawatir kalau aku
akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya tidak. Aku juga
ingin melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke
bawah, kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke
celananya ia menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu. Malam itu
kami cuma main remas-remasan saja. Kuremas-remas payudaranya,
dan dia membelai-belai penisku sementara bibir kami berkecupan.
Akhirnya aku tak tahan juga hingga cairanku menyemprot keluar
membasahi tangannya, sama seperti kemarin. Tetapi aku lebih senang
karena kami bisa bermain-main lebih lama. Aku merasa ada
kemajuan, aku lebih percaya diri.
Malam ketiga. Seperti malam-malam sebelumnya, kami mulai dengan
saling berciuman di sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan
aku ingat bahwa aku membawa sebuah buku seksologi. Kuambil
buku itu dan kutunjukkan pada Ayu. Kubuka pada halaman yang ada
gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara bekerjanya alat itu.
Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru biologi aku
menunjukkan contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku. Kuturunkan
celana dalamku hingga penisku menyembul keluar dan
kupertontonkan pada Ayu. penisku memang beda dengan yang di
gambar, kalau yang di gambar itu lunglai, penisku berdiri tegak. Ayu
memperhatikan penisku itu.
“Itu lubangnya ada dua ya?” tanyanya, “Satu untuk kencing, satu lagi
untuk ngeluarin?”
“Ah, engga. Cuma ada satu,” kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa
lubangnya memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh
cairan bening. Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan
jarinya basah. Kemudian jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ
dari atas ke bawah.
“Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya,” katanya sambil
tertawa.
“Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?”
sahutku.
“Katanya sih,” sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
“Kalau ini isinya apa?” Candanya sambil memain-mainkan kantung
bolaku.
“Biji salak kali,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
“Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar,” bisikku. Diapun menurut, dia
masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap
perlahan.
“Boleh aku lihat punyamu?” tanyaku.
“Jangan ah,” jawabnya.
“Sebentar saja,” kataku.
Ia pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan
menurunkan celana dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah,
baru kali itu aku melihat alat kelamin wanita, sebelumnya aku
melihatnya cuma di gambar-gambar. Tanganku pun menuju ke situ.
Kuusap-usap rambutnya lalu jariku membuka celah di situ dan kulihat
basah di dalamnya.
“Kok basah kuyup begini.”
“Tadi kamu juga.”
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu,
tetapi aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika
membaca buku seksologiku ada bagian yang namanya “labia majora”,
ada “labia minora”, ada “clitoris.” Aku mencoba mencari tahu yang
mana itu. Aku mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia
menepis tanganku.
“Sudah ah, malu,” katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
“Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi,” kataku
bercanda.
“Kan katamu cuma lihat sebentar.”
Susasana hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya
kembali mengusap-usap penisku. Tanganku juga menyusup ke celana
dalamnya (dasternya masih menyingkap). Dia tidak menolak.
Kuusap-usap rambut di balik celana dalam itu dan jari-jariku pun
menggelitik di situ. Aku merasakan basahnya. Kurebahkan dia di
sofa, kutarik celana dalamnya. Tapi Ayu menolak tanganku dan
berbisik,
“Di kamar saja Rik.”
Aku sadar, di situ bukan tempat yang tepat.
“Kamu masuk duluan,” katanya.
Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku
merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk
membawa handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri
di sisiku. Aku segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam
lagi. Segera kulepas dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi
kami. Tanpa basa-basi lagi kami segera berpelukan dan berkecupan
dengan ganas. Tangan-tangan kami saling meraih, menyentuh,
meremas apa saja untuk bisa saling menggairahkan. Kugigit putingnya.
Ia menggelinjang. Ia bangkit dan membalas dengan mengulum
penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami melakukan itu mungkin
sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
“Rik, masukkan saja..,” bisiknya memohon.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya.
Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua
kakinya, seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung
penisku mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong
sedikit. Ia agak mengerang.
“Pelan-pelan Rik,” bisiknya.
Kudorong penisku pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus.
Ia menggelinjang dan mengeluh. Kami berdua merasa di awang-
awang. Rasanya bumi ini hanya milik kami berdua. Kami berdua
menggerak-gerakkan tubuh kami mencari sentuhan-sentuhan yang
paling peka.
Kenikmatan makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya
makin kencang lalu ia memelukku erat-erat seraya merintih,
“Rik, Rik,..” Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
“Ayu..” Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku
menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya.
Selama beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
“Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi,”
katanya.
“Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu,” kataku sambil membelai
pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap
perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman
barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil,
dan ia pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu.
Lalu kami rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai
apa-apa. Kami pun tertidur.
Menjelang pagi kurasakan Ayu bangun. Ia akan mengenakan
dasternya.
“Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi.”
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
“Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu.”
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
“Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik,” candanya.
Ia pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang.
Ia mengecupi leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu
mampir di bibirku. Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam
mulutku, sebentar dalam mulutnya. Lalu ia mengangkat tubuhnya
sedikit, mengarahkan lubangnya ke ujung penisku lalu ia
mendorongkan tubuhnya ke belakang hingga penisku masuk ke
dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di perutku. Tanganku meremas-
remas payudaranya dan ia menggoyang-goyangkan tubuhnya di
atasku. Mula-mula gerakannya tak terlalu cepat tetapi semakin lama
ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah dalam pelukanku, aku
mendengar desahnya penuh kenikmatan. Namun aku masih tegar.
Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan
tubuhku. Beberapa saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh
tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata yang kami ucapkan, tetapi
tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan seluruh perasaan
kami yang terpendam selama berbulan-bulan. Jam setengah empat
sudah, ia mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke
kamarnya. Aku pun tertidur dengan rasa bahagia.
Malam keempat. Kami mulai dengan bercium-ciuman sebentar di
sofa. Kami tak mau berlama-lama di situ, kami pun masuk kamar.
Setelah mengunci pintu ia melepaskan dasternya. Aku juga
melepaskan pakaianku. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan
blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat berwarna biru
muda. payudaranya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di balik
blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang
transparan itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya
menerawang. Aku terpesona melihat Ayu berdiri di depanku dengan
pakaian begitu seksi. Rambutnya yang bergerai panjang, tubuhya yang
semampai sangat serasi dengan yang dipakainya. Aku duduk terpana
di tempat tidur memandangnya. Kalau saja aku bisa memotretnya
pasti tiap malam kupandangi foto itu dengan penuh pesona.
“Luar biasa Ayu, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu
itu?”
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan
merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik
blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan
kemresak rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan.
Kusisipkan penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya
lalu kudekap dan kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu
ia bangkit mengecup dadaku di berbagai tempat.
Kulepas celana mini dan blousenya. Sekarang tak ada apa-apa lagi
yang melekat di tubuh kami. Aku duduk dan ia duduk di pangkuanku
berhadapan dengan aku. Punya kami saling menempel. penisku
berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan rambut-rambutku,
hingga penisku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera kamipun
berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami
bercumbu rayu dengan berbagai cara. Seperti malam sebelumnya,
malam itu kami melakukan lagi dua kali.
Esoknya aku harus kembali ke kotaku. Hari itu Ayu mengambil cuti
seharian ia menemaniku. Sore hari Ayu mengantarku ke stasiun kereta
api. Kulihat matanya berkaca-kaca ketika aku menyalami dia.
“Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu,” katanya
ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia
melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
“Aku pasti datang lagi Ayu,” tanpa sadar kuucapkan kata-kata
itu.
hubungannya romantis banget
thanks,ceritanya mngingatkn sm pengalaman gw.hmpir mirip.
Mdh2an ini cinta pertama dan terakhir dlm hidupx,sampe maut memisahkan